Divestasi Freeport: Tegakkan Kedaulatan NKRI!
Presiden Jokowi saat memimpin
rapat terbatas membahas rencana divestasi Freeport di Kantor Presiden, Kompleks
Istana Kepresidenan pada 29 November 2018 telah menginstruksikan agar
proses divestasi dapat segera dituntaskan. Sejalan dengan instruksi Presiden Jokowi
tersebut, PT Inalum memastikan bahwa seluruh rangkaian proses divestasi PT
Freeport Indonesia (PTFI) akan tuntas pekan ini (16-21 Desember 2018).
Head of Corporate Communications
and Government Relation PT Inalum Rendi Witular mengatakan bahwa tuntasnya
negosiasi akan memberi kepastian atas perubahan status operasi PTFI dari
kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), komitmen
pembangunan smelter dalam waktu 5 tahun ke depan, jaminan fiskal dan regulasi,
serta perpanjangan operasi 2x10 tahun hingga 2041.
Untuk menguasai sekitar 42% saham
PTFI tersebut, Negara Indonesia (melalui PT Inalum) membayar US$ 3,85 miliar
atau sekitar Rp 60 triliun (kurs US$/Rp=14.600). Tentu saja harga ini sangat
murah mengingat usia kekayaan tambang Freeport yang mencapai Rp 2400 triliun
dengan period berakhirnya konsesi hingga 2041. Dalam hal ini, karena wewenang
memperpanjang atau mengakhiri kontrak ada di tangan pemerintah, maka sangat
tepat jika perhitungan harga saham PTFI didasarkan pada kontrak yang berakhir
pada 2041.
Berdasarkan temuan BPK RI yang
dirilis tahun 2017 atas audit lingkungan periode 1988- 1990 dan 2015-2016
terkait UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup dan UU Minerba, maka ditemukan
pelanggaran yang dilakukan PTFI namun sudah dapat diselesaikan dengan tuntas
sebagai berikut:
- Menggunakan kawasan hutan lindung untuk kegiatan operasional seluas minimal 4.535, 93 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
- Melaksanakan kegiatan operasional pertambangan Deep Mill Level Zone (DMLZ) dan memperpanjang tanggul barat dan timur tanpa Izin Lingkungan;
- Menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary dan sampai ke laut. Berdasarkan perhitungan Tim IPB dan LAPAN, nilai ekosistem yang dikorbankan berkisar USD 13.592.229.295 atau sekitar Rp 185 triliun.
BPK
RI akhirnya mewajibkan kepada PT FI untuk membayar PNBP penggunaan kawasan
hutan lindung yang nilainya sebesar Rp 460 miliar dan permasalahan tersebut
telah terselesaikan semua
Sehubungan dengan hal-hal di
atas,
Dr. Marwan Batubara
Dr. Ahmad Redi
Yusri Usman
Bisman Bakhtiar
Salamuddin Daeng
Adhi Azfar
Dst.
yang bertanda tangan di bawah ini meminta kepada pemerintah untuk: ( Jakarta, 20 Desember 2018)
- 1. Mendukung sepenuhnya rencana pembelian saham divestasi PTFI karena sangat murah harga saham yang harus dibayar sehingga menguntungkan negara puluhan triliun rupiah, dan denda kerusakan lingkungan hasil audit BPK yang merupakan lembaga tinggi negara yang keberadaan dan hasil auditnya dijamin oleh konstitusi telah terselesaikan.
- 2. Meminta Freeport untuk membayar denda tersebut untuk menyelesaikan permasalahan sesuai hasil perhitungan BPK. Penyelesaian atas temuan BPK merupakan dukungan terhadap kedaulatan NKRI;
- 3. Pemerintah atas kesepakatan yang telah dicapai, dengan mendudukkan posisi negara di atas posisi korporasi;
- 4. Meminta PTFI untuk mematuhi seluruh ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, terutama UU No.4/2009 tentang Minerba;
- 5. Mendesak DPR RI untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk mendukung penuh pelaksanaan proses negosiasi kontrak PTFI, guna mendapatkan manfaat kepada negara.
- 6. Meminta KPK memantau proses pengelolaan PTFI secara seksama guna mencegah terjadinya KKN.
- 7. Mendukung Menteri LHK yang telah mencabut Permen LHK No.175/2018 hanya untuk meloloskan kepentingan PTFI.
- 8. Mendesak kepada Pemerintah RI agar melakukan penegakan hukum ketenagakerjaan atas pelanggaran Hak Dasar Pekerja di lingkungan PTFI. Sebagai anggota pendiri ICMM (Dewan Internasional Pertambangan dan Logam) Freeport McMoran harus komitmen mengelola operasional sesuai Deklarasi Universal PBB dan HAM. PTFI telah tunduk dan taat kepada peraturan Negara Indonesia.
0 comments:
Post a Comment